Jumat, 04 Maret 2016

MUSEUM GEOLOGI MINI




Sejak bulan Maret 2016, di sekolah kami ada sudut yang baru lho... Sebuah museum geologi mini karya anak kelas 4c. Di sana kita bisa temukan berbagai koleksi batuan unik hasil petualangan seru anak-anak kelas 4c dan juga sumbangan dari guru.





Siapapun yang melihat bisa dengan mudah menemukan berbagai contoh batuan. Ada batuan beku hitam legam seperti cobek yang biasa dipakai ibu kita di dapur. Ada juga batuan beku hasil erupsi anak gunung Krakatau, buah tangan guru kami yang sudah pergi ke sana. Anehnya, meskipun berasal dari satu gunung yang sama, warnanya berbeda-beda, ada yang merah, kuning, kecoklatan, hitam ada bintik putihnya... Kira-kira, apa sebabnya ya? Jika kalian sudah ke museum ini, pasti kalian akan tahu jawabannya..



Di bagian pojok, ada batuan besar kecoklatan yang bergaris-garis di satu sisi, sementara di sisi lainnya ada semacam marmer yang melingkupinya. Rupanya, batuan tersebut pernah mengalami perubahan dari batuan sedimen dan menjadi batuan metamorf. Namun, ketika prosesnya belum tuntas, batu tersebut entah karena erosi atau sebab lain terbawa aliran sungai sampai ditemukan oleh anak-anak.





Museum ini sangat unik lho, karena dibuka 24 jam ... Jadi bisa dilihat langsung jika kita masuk ke lingkungan sekolah kami. Namun, maaf... Batu akik tidak tersedia di sini....

VACATION : A 4th grade junior geologist


 
Belajar tentang batuan memang terasa sangat menantang.Jika selama ini kami hanya tahu bahwa batuan hanya dipakai sebagai bahan bangunan, perhiasan dan akik, serta untuk main timpuk-timpukan, ternyata ada cerita luar biasa di balik sebuah batu...



Diawali dengan melakukan perjalanan kecil ke sungai dusun Rejosari, kami mengumpulkan beberapa batu yang beraneka warna, tekstur (halus tidaknya permukaan), besar kecil, keras lunak, berat ringan.... semua dibawa kembali ke sekolah.





Sesampainya di sekolah, mulailah kami memilah batu tersebut berdasar ciri fisik yang paling jelas nampak. Tekstur dan warna kami jadikan acuan pertama. Kemudian kekerasannya... Tanpa ragu, guru kami memukulkan contoh batuan yang ada, lalu dianalisa bentuk serpihannya. Alasannya sederhana, batuan sedimen memiliki bentuk serpihan yang sangat khas, yakni memiliki lapisan bertumpuk seperti kue lapis. Ada sebuah batu besar yang unik, di satu sisi nampak jelas bentuk lapisan khas batuan sedimen, namun di sisi yang lain ada batuan metamorf yang sangat keras.





Kami juga memiliki koleksi batuan beku dari anak gunung Krakatau, warnanya bermacam-macam, yang menunjukkan adanya kandungan mineral yang berbeda.





 



Sedangkan batuan metamorf yang paling banyak ditemukan adalah batuan kapur keras seperti batuan marmer muda. Lucunya, kami kadang mengira sebuah batu, tetapi ternyata pecahan keramik lantai atau piring porselen.... Ah, tak mengapa, namanya juga seorang junior geologist....

PUPUK HUMUS DAUN.... SIAPA BERMINAT ?




Setelah menunggu 4 bulan lebih.... Akhirnya pupuk kompos daun kami sudah bisa dipanen.

Awalnya kami ragu... Kok lama sekali belum hancur ya? Kami agak ragu dan penasaran, karena ini adalah percobaan kami yang pertama menggunakan serasah daun keras (daun ketapang). Biasanya kami menggunakan sampah daun sayuran dari dapur yang lebih lunak.



Analisa pertama: meskipun sudah tidak terkena sinar matahari langsung, namun tidak terlindung guyuran hujan. Air hujan tidak dapat masuk ke drum, tapi udara dingin cukup berpengaruh pada kecepatan pembusukannya. Bukankah bakteri pertumbuhannya sangat optimal dalam suhu hangat ?



Jika saat memulai proyek ini, dalam dua-tiga hari suhu di dalam drum terasa hangat sekitar 40 derajat celsius dan tidak banyak serangga yang tinggal. Namun, ketika hujan tiba, langsung terasa suhu di dalam drum turun seperti suhu kamar. Selain itu, nampak dari banyaknya semut yang hidup di sana. Jika proses pembusukan berlangsung optimal, bukan semut dan serangga lain yang muncul, tapi semacam cacing dan hewan pengurai lain yang tinggal.



Dan analisa kedua, dari bakteri starternya. Sebagai bahan starter mikrobanya, kami menguji produk kelas kami, yaitu hasil pembiakan mol EM4 dengan bahan dasar air cucian beras. Jika di kelas yang lain bahannya 70-75% serasah daun keras ditambahkan campuran mol dan 25-30% starter kompos yang sudah jadi , maka 100% kami menggunakan serasah daun keras ditambah mol saja.






Memang, nampaknya panenannya lebih lama, namun hasilnya cukup mantap. Kami perlu mengerahkan banyak tenaga untuk menyaring kompos halusnya. Eh, jangan lupa, bagian yang masih agak kasar, sekitar 20% isi drum pada panenan pertama dijadikan tambahan starter pada adonan baru. Hipotesa awal, agar panenan bisa berlangsung lebih cepat. Apakah hal itu benar? Coba kita tunggu 2-3 bulan lagi ya...



**catatan... kondisi lain, lokasi, perlakuan terhadap cuaca tetap ya...