Jumat, 16 Oktober 2015

Dimanakah bakteri berkembang lebih cepat?



Di bulan Oktober ini, cuaca kota semarang terasa sangat panas. Pak Priyo masuk ke kelas kami membawa buah semangka dan sepanci es batu... uh segarnya.. celetuk kami.

Eits... tunggu dulu, ternyata es dan semangka itu bukan untuk kami makan, tetapi akan kami pakai sebagai bahan percobaan rupanya.

Kali ini kami akan membandingkan pengaruh suhu terhadap kecepatan pertumbuhan bakteri. Bahannya cukup sederhana : yeast untuk roti, dua potong semangka, es batu dalam panci dan kaca pembesar (magnifying glass).
Yeast yang biasa disebut ragi roti adalah sumber bakteri - bakteri baik dan tak berbahaya tentu saja. Tanpa ragi ini, bahan roti tak akan dapat mengembang saat dipanaskan.

Caranya sangat mudah. Pada kedua potong semangka dioleskan ragi setipis mungkin. Yang sepotong diletakkan dalam panci berisi es batu (tapi jangan sampai terendam saat es mulai mencair ya..). Dan satu lagi diletakkan dalam wadah terbuka dengan suhu kamar. Nanti, saat bakteri mulai tumbuh, akan nampak semacam jaring-halus yang hanya dapat diamati dengan kaca pembesar. Percobaan ini berlangsung sekitar 45 menit dan pengamatan dilakukan setiap 5 menit sekali.

Akhirnya, pada menit ke 40 mulai terbentuk jaring-jaring tipis pada permukaan semangka pada semangka di kedua wadah. Namun, yang berada dalam es berkembang lebih lambat.

Hasil diskusi kami, ternyata salah satu syarat agar sel dapat berkembang baik adalah suhu antara 13 oC - 18oC, selain adanya air dan nutrisi. Jika terlalu dingin, bakteri tak dapat berkembang. Namun, jika terlalu panas, maka bakteri akan mati.

Ooh...akhirnya kami paham mengapa ibu sering menyuruhku untuk menyimpan makanan ke dalam kulkas dan memanaskan sayuran sebelum tidur.

Benarkah pencemaran dapat merusak ekosistem?




Pagi ini, kami akan belajar tentang kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh pencemaran. Sebagai media pembelajaran, kami menggunakan model pencemaran air oleh dua macam bahan yang sering dipergunakan oleh rumah tangga, yaitu cairan pembersih lantai dan detergent.

Sedangkan yang mewakili biota dalam ekosistem air adalah ikan kecil yang sangat mudah ditemukan di kolam sekitar sekolah. Agar lebih terlihat mana yang paling parah pengaruhnya bagi lingkungan, maka kami mencobanya dalam dua gelas berisi ikan yang terpisah. Pada setiap gelas akan diberikan cairan pembersih lantai dan detergent masing-masing. Setiap pemberian bahan pencemar, kami melakukannya dengan dosis sedikit dan berulang, kira-kira seujung lidi setiap tahap pencemaran.

Pada lima menit pertama, kondisi ikan pada kedua gelas nampak tidak terpengaruh. Pada tahap kedua, dosis ditambah dan diamati perubahan perilaku ikan. Demikian seterusnya, secara bertahap prosedur tersebut diulangi.

Pada pemberian zat pencemar yang ke-empat, ikan dalam gelas dengan pencemar detergent terlihat sangat agresif, gelisah dan berusaha melompat keluar dari gelas. Sedangkan ikan dalam gelas berpencemar cairan pel, ikan masih terlihat lebih tenang.

Lebih kurang 40 menit sejak cairan pencemar dihentikan, ikan pada gelas berpencemar detergent mulai kehilangan keseimbangannya, melayang terbalik dan dinyatakan mati.

Sedangkan ikan pada gelas berpencemar cairan pembersih lantai, ikan baru kehilangan kesadaran lebih kurang 60 menit setelah pencemaran dihentikan.

Oh, ternyata begini ya akibat pencemaran bagi mahluk hidup. Kami bisa memahami mengapa kita tak boleh serampangan membuang cairan kimia ke sungai. Menurut guru, sekarang ada juga detergent yang ramah lingkungan. Ada simbol daun di kemasannya. Meskipun demikian, tetap saja kita tak boleh berlebihan menggunakannya agar bumi kita terjaga kelestariannya..

Senin, 12 Oktober 2015

Eureka...!!! Kami menemukan simbiosis baru..!







Pada awalnya pagi ini kami merencanakan kegiatan observasi. Tujuannya untuk mendata berbagai jenis hewan yang ada dalam sebuah area kecil, yakni kebun. Kami juga harus melengkapinya dengan jenis makanannya, perilaku yang muncul bila bertemu predator, ketika mencari makan dan dalam koloni atau ketika sedang berkelompok bekerja sama.



Setelah semua anak di kelas 4c terbagi, kami mulai menyebar ke kebun pare dan bayam kelas 4, kebun kacang milik kelas 2 serta kebun toga miik kelas 6. Semua anak sibuk melakukan pengamatan lebih kurang 25 menit. Satu per satu hewan mulai nampak, semut, kepik, ulat daun, belalang mulai menunjukkan aktifitasnya.



Di kelompok tanaman bayam, anak-anak sibuk mengamati semut yang selalu hilir mudik dari bunga ke daun. Anak-anak mendiskusikan tentang semut. Kami semua menganggap semut hitam sedang mencari nektar yang berada di bunga.  Rasa penasaran kami tak berhenti di sana.



Akhirnya, setelah tugas pengamatan selesai, kami menuju perpustakaan untuk melengkapi dan mengecek data yang kami kumpulkan. Kami juga membuka-buka referensi tentang hewan yang kami temukan, terutama jenis makanan dan sifat perilakunya.



Dari rak buku tentang serangga, kami menemukan sebuah buku lama...sebuah hal baru yang luar biasa...

 Ya, sebuah hal baru yang luput dari pengamatan kami. Ternyata semut tak sendirian. Bersama kutu daun, mereka membentuk kerja sama yang saling menguntungkan. Kutu daun menghasilkan embun madu yang sangat disukai semut. Sementara semut selalu melindungi kutu daun dari gangguan kepik predator kutu daun. 

Agar tak kehilangan sumber makanan lezatnya, semut selalu mengusir kepik-kepik dan tak segan memindahkan kutu daun ke bagian lain tanaman yang lebih segar.



Ooh, rupanya terdapat simbiosis mutualisma yang saling menguntungkan antara semut dan kutu daun, meskipun hal ini tak disukai pak tani.
Subhanallah... Allah telah menunjukkan sebuah hal baru bagi kami. Ternyata, hewan yang berbeda bentuk pun mampu bekerja sama dengan baik. Mengapa manusia tak mau menirunya ya?